Aku, Marx, Borax dan Sorax

Namaku Norx.
Aku tinggal di Hal 7 Kota Spinx. Salah satu kota diantara ratusan kota yang ada di bawah tanah. Begitulah negeri kami, tidak ada yang tinggal di permukaan kecuali binatang buas dan hutan yang lebat. Sejak kecil aku tinggal sendiri, orang tuaku meninggal saat aku berumur 6 bulan karena perang besar. Berbelanja, mengurus rumah dan sekolah adalah rutinitasku.

"Norx bangun! Kau akan turun!" Ucap Marx.

Aku tersadar 3 detik kemudian. Aku tertidur pulas di kereta terbang setelah seharian sekolah karena ada pelajaran tambahan. Sungguh melelahkan walau esok hari libur, tetap saja menyusahkan.

Aku dan Marx berpisah di stasiun. Lalu aku naik sepeda terbang menuju rumah. Sesampainya di rumah, layar hologramku menyala. Entah siapa yang memberi pesan tengah malam begini.

"Temui aku di Hal 11, 3 kilometer sebelah barat dari pintu keluar stasiun, pagi hari"

Entah dari siapa, tidak ada namanya. Tapi Hal 11 adalah tempat dimana Marx tinggal jadi ia akan mengajak Marx, lagipula tak ada keterangan bahwa ia harus datang sendirian.

Esoknya pagi-pagi sekali Norx pergi ke stasiun dan memakirkan sepeda terbang seperti biasanya. Ia menuju Hal 11 untuk bertemu dengan sahabatnya.

"Pagi Marx. Sudah lama menunggu?" Tanyaku.

"Pagi Norx, aku baru tiba disini 5 menit lalu." Jawabnya.

"Mari kita pergi." Ajaku.

Marx hanya mengangguk.

Satu jam setelah berjalan sambil mengobrol tentang Hal 11, kami sampai di sebuah rumah yang sangat berbeda dibanding rumah lainnya. Semua rumah yang ada di Hal 11 berbentuk Oval, tapi hanya rumah ini berbentuk bulat dan masih menggunakan kayu. Aku menatap Marx, ternyata Marx menatapku balik. Kami tetap berusaha menjernihkan pikiran.

Tak lama seorang kakek keluar.

"Hei menagapa kau diam saja? Cepat masuk!" Ucapnya.

Kami hanya mengangguk tanpa curiga seidkitpun.

Hei lihat! Ada seorang nenek yang sedang menyiapkan teh. Aku sadar bahwa mereka adalah salah satu pasangan romantis di dunia ini.

"Aku Borax dan itu istriku Sorax. Jangan heran dengan nama kami yang panjang dan aneh. Karena kami hidup di zaman yang jauh tertinggal." Jelasnya.

Aku hanya menelan ludah.

"Namaku Norx dan ia sahabatku, Marx." Ucapku.

"Aku sudah tau." Kali ini nenek itu menjawab.

"Jangan memanggil kami dengan sebutan kakek atau nenek." Ucap Borax.

Aku dan Marx menggeleng bersamaan.

"Terima kasih atas kasur terbangnya." Ucap Borax yang disusul anggukan Sorax.

Aku dan Marx saling menatap untuk kesekian kalinya.

Bagaimana ia tahu bahwa kami yang membuatnya?
Bahkan teman sekelas tak ada yang tahu, hanya kedua orang tua Marx
Bagaimana caranya kasur itu ada disini?

"B-bagaimana kau tahu?" Tanya Marx.

"Mudah saja bagi istriku." Jawab Borax.

"Semua barang kami adalah barang penting. Mungkin kau hanya melihat rumah tua yang berbentuk bulat bukan? Bahkan kalian tak menyadari bahwa ruang ini seperti ruangan umumnya dan besarnya melebihi rumah bulat itu?" Jelas Sorax.

Tentu saja!

Kami baru menyadarinya!

"Bagai Film Harry Potter saja." Ucapku.

"Lebih tepatnya ini bukanlah sihir, suamiku hanya membuat ilusi dari luar agar tidak ada anak nakal yang mengganggu kami. Dan kebetulan sekali, orang tua Norx adalah sahabat dari anak kami yang sama-sama gugur dalam perang besar. Sedangkan Borax bersahabat baik dengan kakekmu, Marx" Jelasnya.

Kami jelas-jelas tidak mengerti dengan dongeng ini. Tapi Sorax tak berbohong. Ia menunjukkan foto-foto itu. Mirip sekali dengan foto yang ada di rumahku, begitupun dengan Marx.

"Lalu apa maumu?" Tanya Marx.

"Tak ada. Kami sudah tua, hanya menitipkan barang ini kepada kalian. Mudah bukan? Walau barang ini terlihat kuno, tapi akan berguna di suatu saat. Seperti kasur terbang yang kalian buat. Kami tak mencurinya. Orang tua Marx yang mengirimkannya. Masuk akal bukan?" Tanya Borax.

Kali ini kami mengangguk mantap. Tak perlu di curigai lagi, semua bukti itu sudah cukup. Kami selalu belajar mencari sisa manusia yang terselamatkan saat perang besar terjadi.

"Maaf, apa yang kalian lakukan saat seusia kami?" Tanyaku.

"Kami? Aku adalah seorang ilmuan. Aku dan beberapa temanku yang membuat matahari, bulan, bintang, hujan dan awan buatan untuk semua kota. Tapi mereka ssatu-satu telah meninggal karena penyakit masing-masing. Dan istriku, seorang perempuan terhebat. Ia selalu memasak makanan sehat untukku. Ia juga seorang penulis yang sangat terkenal sebelum perang besar terjadi. Ia hanya mencatat kejadian penting di dunia dan hidupnya." Jelas Borax yang disusul oleh senyum Sorax.

Pasangan itu sangat hebat, senyuman di lipatan pipi yang mulai keriput, senyuman dengan gigi yang sama sekali tidak terlihat, senyuman yang dihiasi rambut putih bahkan senyuman tertulus yang pernah kami lihat.

Seminggu setelah kami bertemu dengannya, mereka meminta kami menemaninya. Hanya dua hari kami merawat mereka, lalu mereka beristirahat dengan tenang untuk selamanya. Marx menghubungi orang tuanya. Jasad mereka di bakar dan di makamkan di belakang rumah itu.

Siapa sangka, dua hari adalah waktu yang sangat berharga bagi kami. Disamping merawat mereka, kami belajar mati-matian untuk mengembangkan kasur tidur terbang agar lebih canggih. Saat terakhir mereka sangat tenang, aku dapat merasakannya dengan senyuman terakhir saat itu.

Sepuluh tahun sudah sejak kejadian itu. Sekarang umur kami sudah berkepala dua, lebih tepatnya 27 tahun. Karena merekalah kami berdua telah berhasil menggapai mimpi. Kami yang saat itu hanya dapat membuat kasur terbang, tapi saat ini kami dapat membuat baju dengan teknologi tinggi yang tak perlu di cuci dan dapat berubah sesuai kemauan pemakai. Itu semua bukan sepenuhnya perjuangan kami, tapi itu semua kami pelajari dari buku-buku yang berhasil ditulis oleh Sorax.

Betapa pentingnya peran mereka sebagai seorang guru dalam hidup muridnya. Bahkan kami selalu mengunjungi makam Borax dan Norax setiap minggu untuk mendoakan sekaligus berterima kasih karena telah menjadi guru yang sangat berdampak bagi kahidupan kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SETAHUN DI RUMAH NGAPAIN AJA?! Bonus Rekomendasi Anime:)

RESPON INTERNSIONAL TERHADAP KEMEREKAAN INDONESIA